THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Minggu, 22 November 2009

Format Pelestarian Budaya Betawi Harus Sesuai Perkembangan Zaman

Seiring perkembangan teknologi, metode pelestarian kebudayaan Betawi juga harus disesuaikan dengan perkembangan zaman. Sehingga, karakteristik kebudayaan Betawi tidak usang termakan perkembangan zaman. Demikian ditegaskan Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo, saat acara buka bersama dengan Forum Ulama dan Habaib Betawi (FUHAB) dan Badan Musyawarah Betawi (Bamus Betawi) di Balaikota, Sabtu (12/9).

Tentunya, sambung Fauzi Bowo, tantangan pengaktualisasian kebudayaan Betawi ini menjadi tanggung jawab para generasi muda. Sebab, generasi muda merupakan generasi penerus yang akan memegang tongkat estafet perjalanan sejarah. "Kalau bukan generasi muda, siapa lagi yang melestarikan budaya ini," kata Fauzi Bowo.

Menurutnya, generasi muda memiliki akses dan kesempatan yang luar biasa dalam mengembangkan budaya Betawi. Dengan kata lain, kemajuan teknologi bukanlah sebuah hambatan untuk melestarikan budaya Betawi, melainkan harus menjadi sarana yang efektif dalam pelestariannya. "Jadi saya kira format pelestarian dan pengembangan budaya itu harus disesuaikan dengan zamannya, tidak bisa memakai cara-cara lama karena sudah tidak up to date," ucap pria yang akrab disapa Bang Fauzi itu.

Dikesempatan yang sama, Ketua Umum FUHAB, KH Ahmad Shodri juga mengungkapkan, FUHAB juga memiliki program kerja untuk pengembangan dan pelestarian kebudayaan Betawi. "Salah satu program kerja kita yang konsen terhadap budaya Betawi adalah meningkatkan pemahaman kepada generasi muda Betawi untuk terus mencintai budayanya," ujarnya. "Contohnya, melalui festival budaya Betawi yang Islami seperti Marawis dan acara-acara Maulid Nabi," imbuh KH Ahmad Sodri.

Menurutnya, generasi muda harus terus mendapat pembinaan dan pemahaman yang dalam tentang kebudayaan Betawi. Sebab, kebudayaan Betawi merupakan aset khazanah kebudayaan nasional. "Budaya ini harus dilestarikan karena merupakan aset bangsa. Jadi kami akan terus memberikan perhatian lebih terhadap budaya Betawi," tukasnya.

Museum Perkenalkan Kampung Betawi Asli

Museum Sejarah Jakarta memperkenalkan kampung Betawi asli sebagai salah satu program pendidikan pengenalan asal usul Jakarta.

Kepala Museum Sejarah Jakarta, R.Manik, (Minggu, 3/6) seusai kunjungan anak-anak yatim piatu ke Kampung Betawi Srengseng Sawah, Jakarta Selatan, mengatakan, Kampung Betawi asli makin tersisih sehingga perlu dilakukan upaya pengenalan bagi generasi muda.

Kami melakukan serangkaian program untuk memperkenalkan asal usul Kota Jakarta. Kegiatan awal dilakukan di perkampungan Budaya Betawi Srengseng Sawah, yang memiliki sekitar 4000 keluarga dengan dominasi warga Betawi asli.

Situs ini memiliki keunikan karena menjadi kawasan in situ seperti museum budaya yang hidup karena masyarakat asli turun temurun tinggal di satu lokasi. Kawasan Srengseng Sawah relatif homogen kata Manik.

Upaya pengenalan dirintis dengan membawa anak usia sekolah dasar ke lokasi tersebut. Setelah itu kegiatan akan dilanjutkan dengan jelajah Kota Tua yang dilakukan dengan bersepeda dan berjalan kaki di sekitar kawasan Kalibesar, Museum Sejarah Jakarta hingga kawasan Glodok-Pancoran.

Menurut Manik, saat ini sudah ada sejumlah komunitas pecinta Kota Tua sehingga memudahkan upaya sosialisasi. Namun program pengenalan akan terus dilakukan.

Sebagai penutup program pengenalan sejarah, Museum Sejarah Jakarta menggelar kunjungan ke situs sejarah Islam dengan mengunjungi masjid bersejarah di Luar Batang, masjid di Pekojan dan Masjid Kebon Jeruk di Jalan Hayam Wuruk.

Sayur ‘Banci’, Pudarnya Pesona Betawi

“Sayur ini bumbunya banyak sekali. Soto bukan, gule bukan, kare juga bukan. Jadi karena rasanya campur-campur, nggak jelas kayak banci,” kata Fahmia Anggraini, menjelaskan alasan kenapa dinamakan Sayur Banci di gerai makanannya di Taman Mini Indonesia Indah. Babanci sendiri, artinya kebanci-bancian. Sayur tradisional Betawi ini, sangat jarang ditemukan di masa kini.

Apalagi di restoran-restoran Betawi atau masakan Indonesia, dijamin anda tidak akan menemukan si jadul ini. Konon, sayur ini pada masa kejayaannya, hanya disajikan khusus untuk orang-orang Betawi yang mempunyai status sosial tinggi, seperti bek betawi alias mandor. Tak heran, jika hanya segelintir orang yang mampu memasak menu Betawi kota ini. Salah satunya adalah keluarga H. Buchori. Resep istimewa ini diteruskan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Kini, tinggal dua orang dari keluarga ini yang piawai memasak sayur berkuah jingga ini, seorang diantaranya, Hj. Siti Masfufah, yang saya temui siang itu, di tengah-tengah Festival Kuliner Nusantara dalam rangka ulang tahun ke 33 TMII.

Ia menuturkan, dibutuhkan waktu satu minggu untuk mengumpulkan bahan-bahan si ‘banci’ ini karena langka dan susah didapat. Beberapa adalah temu mangga, kedaung, bangle, adas dan lempuyang. Wow, susah membayangkan semua bahan itu masih dipakai untuk masakan jaman sekarang. “Masaknya juga lama, sekitar empat jam. Jadi bikin orang males membuatnya, karena bikinnya nggak gampang,” jelas Masfufah. Mendengar semua cerita menarik tentang sejarah sayur ini, lidah siapa yang tidak tergoda untuk mencicipinya? Saya pun langsung memesan seporsi babanci. Selain bumbu-bumbunya yang jadul, isinya juga tidak biasa, yakni, kelapa muda dan daging yang diambil khusus dari kepala sapi. Tak jelas, kenapa musti kepala sapi. Para pembuat sayur ini juga hanya menggelengkan kepala ketika saya tanya, tanda tidak tahu jawabannya. Wujud fisik sayur ini mirip dengan gule, jingga dan bersantan. Daging sapi dipotong dadu kecil-kecil, dengan lembaran-lembaran daging kelapa yang tipis-tipis. Aroma santan yang wangi bercampur rupa-rupa bumbu dapur, benar-benar menggoda hati.

Meski didominasi oleh santan, tetapi kuahnya tidak terlalu kental dan lebih segar dari kuah gule. Perpaduan antara bumbu-bumbu dan kelapa menghasilkan rasa yang seimbang antara manis dan gurih dengan aroma rempah yang kuat. Dagingnya juga dimasak hingga empuk hingga bumbu meresap. Potongan-potongan kelapa muda juga memberi pesona tersendiri pada sayur tempo dulu ini. Mmm…nyam-nyam. Unforgettable food! Babanci adalah contoh dari masakan tradisional Indonesia yang terlupakan di tengah derasnya globalisasi kuliner yang merambah tanah air. Syukurlah, masih ada orang-orang yang berusaha mempertahankannya, seperti keluarga H. Buchori. Puas mencicipi kuliner jadul tanah Betawi, saya berganti dengan makanan-makanan daerah lain yang tersedia di area ini. Soto Kwali dari Solo, Lontong Kupang dari Surabaya, Nasi Kucing dari Yogyakarta, Lapis susu dari Bangka Belitung, Jajanan Pasar dari Jawa. Semuanya menarik dan enak di lidah. Sebenarnya, masih banyak masakan yang tersedia di acara ini. Tetapi, perut rasanya sudah penuh dan mau meledak. Masih ada Kambing Bakar Madu, Mie Aceh, Kue Delapan Jam dari Palembang dan lain-lain.

Seni Budaya Betawi di Jakarta Fair 2009

Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) berpartisipasi optimal pada kegiatan Pekan Raya Jakarta (Jakarta Fair) 2009. Tahun ini sengaja LKB lebih utuh dan solid. Paling tidak ada tiga mata kegiatan yang digelar. Pertama menampilkan stand Rumah Betawi yang berlokasi di sebelah Hall D. Di stand ini LKB menampilkan berbagai hasil aktivitas masyarakat Betawi, seperti menjual ragam kuliner Betawi, khususnya kue-kue kering. Ada juga minuman segar, bir Pletok. Kedua, berpartisipasi aktif pada Karnaval Jakarta Fair yang digelar hari Senin dan Rabu selama Jakarta Fair berlangsung. Karnaval ini baru perdana diadakan oleh Panitia Jakarta Fair, melibatkan hampir semua peserta Jakarta Fair. Sementara itu LKB menampilkan kesenian Ondel-Ondel dan Penganten Sunat pada karnaval itu. Ketiga, LKB juga berpartisipasi pada pentas kesenian di panggung hiburan Pasar Gambir, dengan menampilkan aneka ragam kesenian Betawi, seperti Topeng Betawi, Lenong, aneka tari Betawi, Lipet Gandes, dan sebagainya.

Tujuan didirikannya LKB tak lain adalah mewujudkan seni budaya Betawi yang menjunjung tinggi persaudaraan, kepedulian, kegotongroyongan, kekompakan, dan kemandirian dalam upaya meneguhkan kota Jakarta sebagai kota budaya bertaraf internasional. Tujuan itu terpatri dalam program utama mengembangkan dan mengapresiasi seni budaya Betawi agar diterima dan dicintai oleh masyarakat ibukota dan masyarakat Nusantara pada umumnya; mensejahterakan seniman dan budayawan Betawi; mempertegas jatidiri kota Jakarta dengan budaya Betawi dalam interaksi antar etnis yang multikultur; dan turut serta menciptakan masyarakat Jakarta yang harmonis dan multikultur.

Ruang lingkup kerja LKB memang tak hanya terbatas pada wilayah administratif Provinsi DKI Jakarta saja, namun mencakup keseluruhan wilayah budaya Betawi. Wilayah budaya Betawi kini berada pada wilayah administrasi Provinsi DKI Jakarta, kota dan kabupaten Tangerang, kota dan kabupaten Bekasi, kota Depok, dan beberapa kecamatan di kabupaten Bogor seperti Cibinong. Yang masih terasa kental pada ekspresi kebudayaan di tempat-tempat ini adalah bahasa dan perilaku. Jadi, kini Orang Betawi bertempat tinggal menyebar di tiga propinsi yaitu Provinsi DKI Jakarta, Banten (kota dan kabupaten Tangerang), dan Jawa Barat (kota dan kabupaten Bekasi, kota dan kabupaten Karawang, kota Depok, dan kabupaten Bogor). Orang Betawi berdasarkan statistik BPS tahun 2002 merupakan penduduk kedua terbesar (27%) setelah Jawa (32%).

Ketua Umum LKB, H. Tatang Hidayat, SH, mengungkapkan saat ini LKB fokus pada program Pelestarian, Pembinaan, Pengembangan, Pemberdayaan, dan Pensejahteraan seniman dan budayawan Betawi. "Saya sebut program LKB saat ini dengan 5P, yaitu Pelestarian, Pembinaan, Pengembangan, Pemberdayaan, dan Pensejahteraan seniman dan budayawan Betawi," ungkapnya.

Menurut H. Tatang Hidayat, kondisi seni budaya Betawi saat ini persis pada dua jalan yang bertolak belakang. Satu cabang, banyak seni budaya Betawi yang tak dapat diselamatkan dan telah masuk liang kubur, sementara satu jalan lainnya memang mampu berjaya dan mengharumkan citra Kota Jakarta. Sebagai ibukota negara, menurut H. Tatang, sudah sepantasnya Jakarta menjadi barometer bagi perkembangan kota di Indonesia. Di bidang politik, Jakarta menjadi pusat pemerintahan yang mampu memperlihatkan kinerja birokrasi yang modern. Segala sesuatunya dilakukan dengan akuntabilitas yang memadai. Begitu seharusnya pula di bidang kebudayaan. Banyak kota di Indonesia yang bisa berperan sebagai pusat-pusat kebudayaan, seperti Yogyakarta, Denpasar, Banda Aceh, Bukittinggi, dan sebagainya. "Akan tetapi, Jakarta sebagai pintu gerbang Indonesia harus memiliki perangkat kebudayaan yang memadai pula. Karena, peradaban sebuah bangsa diukur dengan perkembangan kebudayaannya," tutur H. Tatang.

Sejak Jakarta Fair atau Pekan Raya Jakarta dicanangkan oleh H. Ali Sadikin pada tahun 1968, praktis keterlibatan LKB pada event besar HUT Kota Jakarta itu relatif tak terlihat. "Seharusnya LKB terlibat pada kegiatan Jakarta Fair dan mewarnainya dengan kekayaan seni budaya lokal, namun senantiasa LKB belum dilihat sebagai lembaga yang dapat memperkuat pijakan kekokohan kota Jakarta," aku H. Tatang. Itu sebabnya, menurut H. Tatang, mulai tahun ini dan tahun-tahun berikutnya, LKB akan berjuang mewarnai Jakarta Fair dengan nuansa lokal. "Dengan demikian, seniman dan budayawan Betawi dapat diberdayakan yang pada gilirannya dapat mensejahterakan hidup keseharian mereka," tambahnya.

Seperti diketahui, keterlibatan LKB pada Jakarta Fair tahun 2009 ini antara lain dengan menghadirkan sebagain besar dari unsur budaya Betawi secara utuh. Keutuhan itu dapat ditemukan pada Rumah Betawi yang di dalamnya diupayakan menampilkan wajah seni budaya Betawi, lalu kegiatan karnaval Jakarta Fair dan pentas seni budaya Betawi di panggung Pasar Gambir.

LKB berupaya optimal mewarnai Kota Jakarta dengan seni budaya Betawi dan itu bukan tidak ada dasar hukumnya. Undang-Undang Negara Republik Indonesia No. 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta telah sangat jelas memposisikan seni budaya Betawi sebagai kekayaan yang harus dilindungi dan dikembangkan dengan format yang benar dan sinambung. "Jika ada pihak yang masih memandang rendah keberadaan seni budaya Betawi, itu kontraproduktif," ujar H. Tatang.

Dalam kondisi global yang secara dinamis terus berubah, LKB bertekad melakukan peningkatan performa guna memenuhi amanat dan tuntutan para sesepuh masyarakatnya. Dukungan internal maupun eksternal sangat diperlukan, agar lembaga ini bisa melakukan perubahan. Melakukan perubahan memang tidak bisa seperti membalik telapak tangan. LKB harus melakukan transformasi secara bertahap tetapi juga cepat dan tepat. LKB bertekad menjadi agen perubahan bagi kekokohan dan keberjayaan seni budaya Betawi di Nusantara Mari mampir di stan Rumah Betawi LKB di Jakarta Fair. (Yahya Andi Saputra)

Arti ROTI BUAYA Di Kebudayaan Betawi

Arti ROTI BUAYA Di Kebudayaan Betawi

Setiap kali ke undangan ke orang Betawi, wah.. saya sangat antusias untuk mendatanginya, karena selain suka makan laksanya, saya juga suka dengan gadis-gadisnya yang berkerundung dan bersanggul diatas kepalanya, di setiap perayaan pernikahan seperti itu, selain banyaknya kue-kue yang tersaji di priring-piring kecilnya.

ada satu hal yang membuat saya tertarik, pada saat mempelai laki-laki datang ke tempat mempelai wanitanya, pasti ada sepasang Roti Buaya, yang kadang-kadang besarnya seperti ukuran buaya beneran.

Malah di dekat toko saya ada Toko Roti Lauw, yang khusus menjual Roti buaya, dan setiap kali pada saat melewati toko tsb dan melihat ada orang yang membeli Roti buaya dalam ukuran besar, serta merta saya selalu tersenyum.

Penasaran kenapa orang betawi kok selalu pake Roti Buaya, padahal di kenyataannya orang suka menyamakan istilah buaya itu sama laki-laki yang Playboy, dengan ungkapan " Dasar Buaya Darat " atau "Lelaki Buaya darat"

Akhirnya pertanyaan sayapun terjawab, ternyata dalam kebudayaan Betawi sepasang Roti Buaya itu merupakan harapan atau simbol agar sepasang mempelai itu selalu saling setia dan selalu bersama kemanapun mereka pergi, karena Buaya itu binatang yang sangat setia dengan pasangannya, dan pada masa kawinnya buaya selalu pergi kemanapun bersama pasangannya.

Jadi sayapun mengerti ternyata Buaya itu binatang yang setia pada pasangannya, dan ini hanya berlaku untuk buaya yang ada di sungai dan buaya yang di laut.

Kalau yang di Darat ????? Ya... tetap aja BUAYA DARAT....... .

Si Pitung akan Tampil di TMII

Si Pitung akan Tampil di TMII

JAKARTA--MI: Bagi orang Betawi (Jakarta), Si Pitung adalah seorang jawara, jago silat dan sekaligus juga pahlawan, tetapi orang Belanda di jaman kolonial sekitar abad 18 menyebutnya sebagai perampok.

Banyak cerita beredar tentang tokoh pemuda tersebut, yang sosoknya pernah diperankan oleh Dicky Zulkarnaen (almarhum) dalam film Si Pitung (1975).

Legenda tentang jawara Betawi itu akan dipentaskan lewat sendratari Si Pitung di Blandongan Anjungan DKI Jakarta di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) pada Minggu, 29 Juni 2008, pukul 20.00 WIB.

Si Pitung memang merampok, tetapi ia melakukannya untuk membantu rakyat miskin yang menderita akibat penindasan para tuan tanah di Betawi pada jaman kolonial, kata H. Sumarno, Kepala Anjungan DKI Jakarta saat berbincang dengan wartawan di Jakarta, Rabu.

Sendratari Si Pitung, katanya, merupakan suguhan utama Paket Acara Khusus Anjungan DKI Jakarta yang digelar dalam rangka memeriahkan peringatan HUT ke-481 Ibukota Jakarta.

Selain bertujuan melestarikan seni tari tradisional Betawi, pertunjukan itu juga dimaksudkan untuk menumbuhkan semangat nasionalisme.

Apalagi saat ini kita sedang memperingati 100 tahun kebangkitan nasional, kata Sumarno.

Sisa-sisa peninggalan kisah kepahlawanan Si Pitung sampai saat ini masih bisa dilihat di daerah Marunda Pulo, Jakarta Utara, tepatnya di sebuah rumah panggung terbuat dari bahan kayu yang disebut Rumah Si Pitung.

Pitung bukanlah orang asli Marunda Pulo. Rumah bercat merah yang menggunakan namanya merupakan tempat pertemuan Pitung dengan kawan-kawannya, dan juga sebagai tempat ia bersembunyi dari kejaran tentara kompeni.

Pitung belum menikah ketika meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai keturunan satu orang pun.

Menurut cerita, Si Pitung ini leluasa menghadapi tentara kompeni karena tubuhnya kebal, tidak mempan ditembak. Tapi setelah kelemahannya ketahuan, ia tewas ditembak dengan peluru emas, kata Sumarno.

Rencananya, pertunjukan sendratari Si Pitung akan disaksikan oleh Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo dan para pejabat Pemda DKI Jakarta, serta undangan lain termasuk para duta besar negara sahabat. (Ant/OL-01)

SUKU BETAWI MUSIK SAMRAH

SUKU BETAWI MUSIK SAMRAH

Banyak orang yang tidak mengetahui sebenarnya asal muasal bahasa yang digunakan oleh Suku Betawi. Saham yang paling besar dari orang Melayu terhadap terbentuknya kebudayaan Betawi adalah bahasa, yakni bahasa Melayu, yang kemudian menjadi dialek Betawi dengan berbagai sub dialeknya.

Sedangkan dalam kesenian, Samrah tetap diunggulkan sebagai musik Betawi. Alat musik yang membentuk orkes Samrah adalah harmonium, biola, gitar, dan tamborin. Kadang � kadang dilengkapi dengan rebana bahkan gendang. Mengenai alat musik bernama harmonium ini memang sudah langka.

Orkes Samrah biasa digunakan untuk mengiringi nyanyian dan tarian. beberapa Lagu Melayu; Burung Putih, Pulau Angsa Dua, Cik Minah Sayang, Sirih Kuning, Masmura, dan sebagainya. Disamping itu biasa pula dibawakan banyaknya lagu yang dianggap khas Betawi; Kicir-Kicir, Jali-Jali, Lenggang Kangkung dan sebagainya.

Kostum yang dipakai pemain musik Samrah ada dua macam yakni: peci, jas dan kain pelekat atau peci, baju sadariah dan celana batik. Sekarang ditambah lagi dengan model baru yang sebenarnya model lama yang disebut Jung Serong (ujungnya serong) yang terdiri dari tutup kepala yang disebut liskol, jas kerah tutup dengan pentolan satu warna dan sepotong kain batik yang dililitkan dibawah jas, dilipat menyerong, ujungnya menyempul kebawah.

Jika anda ingin mengetahui lokasi penyebaran Musik Samrah, dapat ditemukan didaerah tengah dari wilayah budaya Betawi, yaitu di Tanah Abang, Cikini, Paseban, Tanah Tinggi, Kemayoran, Sawah Besar dan Petojo.

Masyarakat pendukungnya umumnya golongan menengah, baik sosial maupun ekonomi. Popularitasnya tampak makin menurun, sehingga dewasa ini jarang tampak menyelenggarakan pergelaran . Memang akhir-akhir ini tampak adanya usaha untuk menggiatkan kembali terutama oleh Lembaga Kebudayaan Betawi antara lain dengan memberikan bantuan kepada rombongan Samrah yang dinilai paling representative, yaitu yang dipimpin oleh Harun Rasyid (almarhum)

Dewasa ini tidak ada yang secara khusus melulu menjadi seniman Samrah. Boleh dikatakan semua pemain Samrah sekarang biasa ikut bermain pula pada orkes-orkes lain, seperti Orkes Keroncong, bahkan yang dikenal sebagai Orkes Melayu (bukan Dangdut) seperti yang dipimpin oleh Alm. Emma Gangga. (budayajakarta.com/rmb)